Gerakan Literasi Lewat Film
Pada masa kemunculan film G30SPKI di Indonesia, film yang di sutradarai oleh Arifin C. Noer bercerita tentang Penumpasan anggota Partai Komunis
Indonesia (PKI) karena di anggap telah mencoba melakukan kudeta pada tahun 1965.
Film ini berhasil memperlihatkan kepada masyarakat luas dengan kasus
yang sebenarnya terjadi saat pemberontakan PKI,
dalam versi pemerintah Orde Baru,
dengan cara memutar terus-menerus di stasiun telivisi.Tapi banyak juga yang
menolak kebenaran film tersebut.
Di jerman pada
masa pemerintahan Adolf Hitler Sebelum terjadinya perang dunia ke dua. Sutradara
Viet Harlan Dan Rezim membuat film berjudul Jud Süss pada tahun 1940, Film Propaganda ini
bercerita tentang seorang bernama Joseph Süss Oppenheimer, seorang banker
Yahudi yang licik. Film propaganda ini di
tonton jutaan warga jerman, dan berhasil
meracuni pandangan masyarakat jerman terhadap kaum Yahudi di jerman.
Pengaruh film memang sangat besar terhadap psikologi masyarakat,
menurut salah satu artikel Husein
Abdul Salam, yang di tayangkan
oleh redaksi salah satu Media online tirto.id. "Gambar.. termasuk film, punya
kesempatan yang lebih baik dan jauh lebih cepat ketimbang bacaan untuk membuat
orang memahami pesan-pesan tertentu ".(2017, https://tirto.id/film-sebagai-alat-propaganda-rezim-penguasa-cxgY)itus
.
Salah satu komunitas anak muda
Jepara yang Sadar atas pentingnya pengaruh film terhadap
ideologis masyarakat adalah Baruas Project. Komunitas
yang terbentuk dari pelbagai
latar belakang dan hobi, membaur menjadi satu dan bersama, bergerak terhadap
antusiasme seni visual seperti film, mural dan desain grafis di kota Jepara.
Komunitas Baruas Project pada tanggal 17 Maret 2018 kemarin, membuat acara nonton film bareng di Desa Dema'an RT03 RW04 kabupaten
Jepara, tepatnya daerah pesisir pinggiran kota Jepara, mereka memutarkan 4 film pendek , yang bisa dibilang mempunyai nilai
dan pesan moral.
Salah satu film yang diputar
berjudul “Yuwana mati lena”, karya Bajigur isi klepon sebagai Rumah
Produksi dan di sutradarai oleh M.Alfayed dari ISI Yogyakarta,
film ini menceritakan di desa yang masih konvensional dan sangat menjunjung
tinggi nilai tradisi jawa. Pak Kades dan Bu Kades mengajak putranya, tapi Lantip
menolak, dengan alasan “berdoa bisa
dimana saja tidak harus dengan sesaji dan ritual, karena itu musrik !!”
mendengar pernyataan anaknya Lantip Pak Kades-pun marah kepada Lantip.
Kemarahan Lantip memuncak dan berniat membuang sesaji weton atau sesaji
kelahiran Lantip yang dibuat oleh Ibunya, di tengah jalan Lantip dipergoki oleh
Pak Karto sebagai Wakil Kepala Desa, dan kejadian itu dijadikan kesempatan emas
Pak Karto untuk menghilangan kepercayaan warga kepada Kepala Desa. Diakhir film ini wakil Kepala Desa berhasil
menjadi Kepala Desa, penonton diajak berfikir bahwa ada unsur manipulasi politik di
dalam film tersebut.
"Harapan kami setelah ini, acara pemutaran film ini akan dilaksanakan berkelanjutan
dan dilaksanakan setiap 6 bulan sekali,
ke desa-desa yang lain di Jepara. Agar
masyarakat mengerti film yang bagus" Ungkap salah satu anggota Baruas
Project yang tak mau disebutkan namanya, pada saat
acara berlangsung.
Menurut saya pribadi langkah
teman-teman Baruas project ini sangat tepat, untuk menyampaikan pesan
dan mengenalkan film indie ke masyarakat Jepara,
terutama masyarakat Pedesaan yang biasanya hanya
melihat sinetron yang hanya mengejar rating tanpa memperdulikan nilai dan pesan
moral.
Akhir
kata, maju terus Baruas Project!. Semoga makin eksis di jepara dengan
karya-karyamu dan menjadi pemuda yang bermanfaat untuk mewujudkan Jepara yang
lebih baik.
Komentar
Posting Komentar