Judulnya belum nemu


Aku heran, masih tak habis fikir, sampai sekarang masih teringat si tukang kopi itu. Aku lebih suka menyebutnya si tukang cerita, bukan tukang kopi. Seseorang dengan wajah serta perawakannya yang kurus, putih dan bentuk kepalanya pun normal. Sangat normal, cara berpakaian terlihat formal, tak ada tanda dia mengalami sakit jiwa, semuanya terlihat biasa, hanya saja matanya terlihat lebam seperti orang kehabisan air mata mungkin karena layaknya tukang penjaga coffeesp umumnya, memang jarang tidur, terlihat mukanya kelelahan. Saat hari pertama aku datang ke kota ini untuk keperluan bertemu dengan salah satu calon pembeli mebel dari luar negri, kebetulan aku sendiri dan memang sudah terbiasa dengan urusan seperti ini, sendiri, tanpa perlu mengajak teman. Lagian di kota ini aku ada janji bertemu dengan pacarku, kebetulan pacarku tinggal di kota ini. Kota yang sudah lama aku tinggalkan, meskipun sudah lama, pembangunan semakin liar, terlihat hotel dan pusat perbejanjaan modern hampir disetiap jengkal sudut kota, jalanan pun semakin macet, namun kota ini tetap tidak asing. Tetap menyenangkan untuk dikunjungi kembali.
Sesampainya di penginapan, aku berniat untuk mencari kopi, untuk menyelesaikan file untuk presentasi kepada client. Setelah semua urusan pekerjaan selesai, baru aku akan mengabari pacarku kalau aku sudah tiba di kota ini. Sebuah cafe dengan model bangunan kolonial dengan warna dinding dominan putih, terlihat lukisan mural seorang filsuf Karl Marx pada dindingnya dengan mata seolah menakuti siapapun yang melihatnya, pagar tembok luar berwarna putih banyak disanasini yang sudah mengelupas, dari luar terlihat menarik untuk mengerjakan pekerjaan, karena letaknya pun agak jauh dari kebisingan jalan raya. Selain itu terlihat banyak pohon dan bunga tropis menampilkan suasana adem. Saat aku masuk menuju meja bar, aku dilayani oleh seorang barista dengan pandangan mata hampir kosong dan nada suara yang lurus, seperti tak ada tanda koma atau titik dalam suatu kalimat yang diucapkannya, “nggak niat kerja ini bocah” dalam hatiku.
Setelah selesai memesan, aku memutuskan untuk duduk di depan bar, kebetulan yang ada colokan laptop hanya ada di depan meja bar dan colokan yang lain sudah dipakai pengunjung lain. Pesananku sudah datang. Dengan muka yang sama tanpa ekspresi lebih tepatnya memelas dan mempersilahkan meminumnya. Tiba-tiba berkata “hei apa anda pernah jatuh cinta” katanya. Kutoleh disekitarku memastikan tidak ada orang lain di depannya selain aku. Setelah menimbang tidak yakin dia sedang bicara denganku, aku terus melanjutkan pekerjaanku, namun dia tetap berbicara menghadapku. Dalam hatiku “mungkin memang selayaknya kebiasaan pegawai menyapa siapapun yang bertamu kesini”. Kubenarkan posisi kacamataku, dia masih menatap wajahku lalu beralih ke gelas keramik yang sedang dilapnya, dengan pandangan nyaris seperti lamunan.
“hei, apa anda pernah jatuh cinta ?
Suaranya sangat pelan, aku harus berdiam diri untuk bisa menangkap apa yang dibicarakan orang ini. Lalu dia melanjutkan pembicaraannya tanpa aku menyahutnya sekalipun.
yah. Aku rasa itu sedang terjadi padaku
Aku merindukan seseorang itu. Tidak gampang mengucapkan atau menemuinya, orang yang aku cintai seperti di telan bumi. 
Aku akan mengucapkan sesuatu saat aku menemukannya
Yah. Aku memang merindukannya, hidup bersamanya orang itu.
Dia adalah cinta terakhirku, besok aku akan mengiriminya surat, suratnya sudah aku tulis tadi malam.
Sore nanti aku akan mengirimnya lewat pos.
Dia cantik dan suka membaca Albert Camus
Sampai saat dia muncul, aku akan mengucapkan: aku mencintainya dan menciumnya seperti dalam buku cerita “
Aku didepannya hanya mengangguk-angguk memposisikan diri layaknya pendengar yang baik. Antara percaya atau tidak aku tetap mendengarkannya mengoceh sampai ocehannya berakhir. Setelah dia berhenti mengoceh. Berlalu, masih mengelap gelas yang tak selesai-selesai ditangannya. Suasana hening sejenak karena aku juga canggung harus melakukan apa. Suasana pun tak lagi semangat melanjutkan pekerjaan, masih kepikiran apa maksud dari si tukang kopi itu. Seorang tamu lagi datang dengan tas berisi buku bacaan, aku pastikan pengunjung perempuan berkacamata kotak itu baru saja membeli banyak buku bacaan. Terdengar dia memesan coklat panas. Setelah membayar pesanannya dia duduk di depan bar dan membaca buku yang baru dibelinya. Aku masih mengumpulkan niat menyelesaikan pekerjaan. Tiba-tiba si tukang pembuat kopi bercerita lagi kepada pengunjung  yang barusaja datang. Dengan mimik wajah yang sama, dengan sengaja saya mendengarkan ocehannya lagi, si tukang kopi menceritakan tentang kekasihnya yang sudah meninggal dua hari yang lalu di luar kota karena kecelakaan dan tak sempat menengoknya, begitu panjang namun si pengunjung perempuan itu tetap mendengarkannya. Laptop kututup dan memasukannya ke tas lalu kembali ke penginapan. Berniat meneruskan pekerjaanku di penginapan saja. Setelah selesai mengerjakan file presentasi, sebaiknya aku istirahat. Namun si tukang cerita tadi tetap membayangiku. Setiap kata-kata mencerminkan  penderitaannya. sederet kata-kata itu dan wajah kasihan itu, Semoga dia tak melakukan bunuh diri.

Komentar

Postingan Populer